Definisi ALS
Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) adalah penyakit neurodegeneratif yang menyerang neuron motorik. Amyotrophy menunjukkan adanya atrofi serat otot, yang diinervasi oleh anterior horn cell yang mengalami degenerasi, menyebabkan kelemahan otot dan fasikulasi. Lateral Sclerosis menunjukkan pengerasan traktus kortikospinalis lateral maupun anterior dimana neuron motorik di daerah tersebut mengalami degenerasi melalui proses gliosis (Rowland dan Shenider, 2001). Melalui gabungan istilah ini, bisa tergambarkan bahwa pada penyakit ini terjadi lesi campuran Upper Motor Neuron dengan Lower Motor Neuron. ALS merupakan penyakit degeneratif yang paling banyak ditemukan pada sistem motor neuron. ALS pertama kali dideskripsikan pada tahun 1874 oleh seorang neurologis Perancis bernama Jean-Martin Charcot dan ALS dikenal juga dengan nama penyakit Charcot (Rowland dan Shneider, 2001).
Penyebab ALS
Penyakit ALS sampai saat ini belum diketahui penyebabnya meskipun pada beberapa kasus dikatakan terdapat faktor risiko genetik. Tidak ada hubungan yang konsisten antara faktor lingkungan dengan resiko terjadinya ALS. Perubahan molekuler yang menyebabkan degenerasi neuron motorik pada ALS tidak diketahui, tetapi sama dengan penyakit neurodegeneratif lainnya, kemungkinan terjadi interaksi kompleks berbagai mekanisme patogenik selular seperti:
1. Faktor Genetik
ALS Sporadis dan familial secara klinis dan patologis serupa, sehingga ada kemungkinan memiliki patogenesis yang sama. Dua puluh persen dari kasus FALS (Familial Amyotrophic Lateral Sclerosis) diturunkan secara autosomal dominan dan hanya 2% pasien penderita SALS (Sporadic Amyotrophic Lateral Sclerosis) memiliki mutasi pada superoksida dismutase 1 (SOD1). Penemuan mutasi ini merupakan hal penting pada penelitian ALS karena memungkinkan penelitian berbasis molekular dalam pathogenesis ALS. SOD1 adalah enzim yang mengkatalisasi konversi superoksida radikal yang bersifat toksik menjadi hidrogen peroksida dan oksigen. Mutasi pada SOD1 yang mengganggu fungsi antioksidan menyebabkan akumulasi superoksida yang bersifat toksik. Gen lain yang menyebabkan FALS termasuk alsin (ALS2), senataxin (ALS4), vesikel terkait protein membran (VAPB, ALS8), angiogenin dan mutasi pada P150 subunit dynactin (DCTN1). Baru-baru ini, mutasi pada gen TARDBP (pengkodean TAR-DNA pengikat protein TDP43) yang terletak pada kromosom 1p36.22 telah dikaitkan dengan FALS ataupun SALS (Wijesekera dan Nigel, 2009).
2. Eksitotoksisitas
Cedera neuronal yang disebabkan oleh rangsangan glutamat berlebihan diinduksi dari reseptor glutamat pasca sinaptik seperti reseptor NMDA dan reseptor AMPA. Stimulasi berlebih reseptor glutamat ini diduga mengakibatkan masuknya kalsium ke dalam neuron, yang menyebabkan peningkatan nitric oxide sehingga terjadi kematian neuron. Jumlah glutamat dalam CSF meningkat pada beberapa pasien dengan ALS (Rothstein dkk, 1995).
3. Stres Oksidatif
Stres oksidatif telah dikaitkan dengan degenerasi neuro dan diketahui bahwa akumulasi reactive oxygen species (ROS) menyebabkan kematian sel. Hipotesis ini didukung dengan ditemukannya perubahan biokimia yang mencerminkan kerusakan radikal bebas dan metabolisme radikal bebas yang abnormal dalam CSF dan sampel jaringan post mortem pada pasien ALS. (Wijesekera dan Nigel, 2009).
4. Disfungsi mitokondria
Kelainan morfologi mitokondria dan biokimia dilaporkan pada pasien SALS yang mengakibatkan ketidakmampuan metabolisme energi (Siklos dkk, 1996).
5. Gangguan transportasi aksonal
Pada pasien dengan ALS ditemukan mutasi pada gen kinesin yang diketahui menyebabkan penyakit saraf motorik neurodegeneratif pada manusia seperti paraplegia spastik yang herediter dan penyakit Charcot-Marie-Tooth. Mutasi di kompleks dynactin menyebabkan gangguan lower motor neuron (LMN) (Wijesekera dan Nigel, 2009).
6. Agregasi neurofilamen
Neurofilamen protein bersama-sama dengan peripherin (suatu protein filamen intermedia) ditemukan di sebagian besar akson neuron motorik pasien ALS. Sebuah isoform toxic dari peripherin (peripherin 61), telah ditemukan menjadi toksin bagi neuron motorik bahkan ketika diekspresikan pada tingkat yang sederhana dan terdeteksi dalam spinal cord pasien ALS (Wijesekera dan Nigel, 2009).
7. Agregasi protein
Agregasi proten intrasitoplasma adalah ciri dari FALS dan SALS. Namun, masih belum jelas apakah pembentukan agregat protein secara langsung menyebabkan toksisitas selular dan memiliki peran kunci dalam patogenesis. Agregasi protein mungkin tidak berperanan dalam proses neurodegenerasi, atau jika pembentukan agregat protein mungkin benar-benar menjadi proses yang menguntungkan dengan menjadi bagian dari mekanisme pertahanan untuk mengurangi konsentrasi intracellular dari protein toksin (Cozzolino dkk, 2008).
8. Disfungsi inflamasi dan kontribusi sel non-saraf
Meskipun ALS bukan gangguan autoimunitas primer atau disregulasi imun, ada bukti yang cukup bahwa proses inflamasi mungkin memainkan peranan dalam patogenesis ALS. Aktivasi sel mikroglial dan dendritik menghasilkan sitokin inflamasi seperti interleukin, COX-2, TNFa dan MCP-1 (Almer dkk, 2001).
9. Defisit dalam faktor-faktor neurotropik dan disfungsi jalur sinyal
Penurunan kadar faktor neurotropik (misalnya CTNF, BDNF, GDNF dan IGF-1) telah diamati dalam pasien ALS pasca-mortem. Tiga mutasi pada vascular endotel growth factor (VEGF) yang ditemukan terkait dengan peningkatan risiko terjadinya SALS. Setelah dilakukan metaanalisis, gagal menunjukkan hubungan antara haplotype VEGF dan peningkatan risiko ALS (Lambrechts dkk, 2003). Proses akhir dari kematian sel neuron dalam ALS diduga mirip jalur kematian sel terprogram (apoptosis). Penanda biokimia apoptosis terdeteksi dalam tahap terminal pasien ALS.
Diagnosis ALS
ALS sulit untuk didiagnosis sejak awal karena memiliki gejala mirip dengan beberapa penyakit neurologis lain sehingga diperlukan pemeriksaan tambahan untuk mengesampingkan kondisi lain. Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain:
1. Elektrofisiologi
Elektrofisiologi digunakan untuk mendeteksi adanya lesi LMN pada daerah yang terlibat serta untuk menyingkirkan proses penyakit lainnya. (Wijesekera dan Nigel, 2009).
a. Konduksi saraf motorik dan sensorik
Konduksi saraf diperlukan untuk mendiagnosis dan menyingkirkan gangguan lain dari saraf perifer, neuromuscular junction, dan otot yang dapat mirip atau mengacaukan diagnosis ALS (Wijesekera dan Nigel, 2009). Pada pemeriksaan konduksi saraf sensoris didapatkan nilai normal atau mendekati normal. konduksi yang abnormal dapat dijumpai pada neuropati entrapment maupun penyakit saraf tepi lainnya yang timbul bersamaan. Respon saraf sensoris pada ekstremitas bawah bisa sulit didapatkan pada usia lanjut (Herjanto dkk, 2003).
b. Elektromiografi
Konsentris jarum elektromiografi (EMG) memberikan bukti disfungsi LMN yang diperlukan untuk mendukung diagnosis ALS dan harus ditemukan setidaknya dua dari empat daerah SSP: otak (bulbar), leher, toraks, atau lumbosakral medula spinalis (cornu anterior motor neuron). Untuk daerah batang otak itu sudah cukup untuk menunjukkan perubahan dalam satu EMG otot (misalnya lidah, otot-otot wajah, otot rahang). Untuk wilayah medula spinalis daerah thorakal itu sudah cukup untuk menunjukkan perubahan EMG baik dalam otot paraspinal pada atau di bawah tingkat T6 atau di otot perut. Untuk daerah leher dan medula spinalis lumbosakral setidaknya dua otot dipersarafi oleh akar yang berbeda dan saraf perifer harus menunjukkan perubahan EMG (Wijesekera dan Nigel, 2009).
Kriteria El-Escorial yang telah direvisi mengharuskan bahwa kedua bukti denervasi aktif atau sedang berlangsung dan denervasi parsial kronis diperlukan untuk diagnosis ALS, meskipun proporsi relatif bervariasi dari otot ke otot. Tanda-tanda denervasi aktif terdiri dari: Fibrilasi dan positive sharp wave. Tanda-tanda denervasi kronis terdiri dari: Large motor unit action potensial (MUAP) dengan peningkatan durasi, polifasik, amplitudo seringkali meningkat. Penurunan interference pattern dengan firing rate lebih tinggi dari 10 Hz (kecuali adanya tanda UMN menonjol, dalam firing rate mungkin lebih rendah dari 10 Hz) dan unstable MUAP (Herjanto dkk, 2003). Potensial fasikulasi sangat penting sebagai fitur ciri khas dari ALS terutama bila didapatkan gambaran durasi panjang dan polifasik; tidak adanya fasikulasi menimbulkan keraguan tetapi tidak menyingkirkan diagnosis, tetapi gambaran tersebut dalam EMG dianggap membantu dalam diagnosis ALS (Reinhard, 2010).
C. Transkranial magnetic stimulasi dan Central motor conduction studies
Transkranial magnetic stimulasi (TMS) memungkinkan evaluasi non invasif jalur motorik kortikospinalis, dan memungkinkan deteksi lesi UMN pada pasien yang tidak memiliki tanda-tanda UMN. Motor amplitudo, ambang batas kortikal, waktu konduksi motorik pusat dan periode diam dapat dengan mudah dievaluasi dengan menggunakan metode ini. Central motor conduction time (CMCT) sering sedikit lama untuk otot-otot setidaknya satu ekstremitas pada pasien ALS (Wijesekera dan Nigel, 2009).
d. Elektromiografi Kuantitatif
Motor Unit Number Estimation (MUNE) adalah teknik elektrofisiologi khusus yang dapat memberikan perkiraan kuantitatif dari jumlah akson yang mempersarafi otot atau kelompok otot. MUNE terdiri dari sejumlah metode yang berbeda (incremental, multiple point stimulation, spike triggered everaging, F-wave dan metode statistik), dengan masing-masing memiliki keunggulan spesifik dan keterbatasan. Meskipun kurangnya metode tunggal yang sempurna untuk melakukan MUNE, mungkin memiliki nilai dalam penilaian hilangnya secara progresif akson motorik dalam ALS (Wijesekera dan Nigel, 2009).
2. Neuroimaging
Dilakukan MRI kepala/tulang belakang untuk menyingkirkan lesi struktural dan diagnosis lain pada pasien yang dicurigai ALS seperti tumor, spondilitis, siringomielia, stroke bilateral, dan multiple sclerosis (Wijesekera dan Nigel, 2009).
3. Biopsi otot dan neuropatologi
Terutama dilakukan pada pasien dengan presentasi klinis yang tidak khas, terutama dengan lesi LMN yang tidak jelas. Biopsi digunakan untuk menyingkirkan adanya miopati, seperti inclusion body myositis (Wijesekera dan Nigel, 2009).
4. Pemeriksaan lab lainnya
Tes laboratorium klinis yang mungkin abnormal dalam kasus dinyatakan khas ALS meliputi:
• Enzim Otot (serum kreatinin kinase yang tidak biasa di atas sepuluh kali batas atas normal, ALT, AST, LDH)
• Serum kreatinin (terkait dengan hilangnya massa otot rangka)
• Hipochloremia, bikarbonat meningkat (terkait dengan gangguan pernapasan lanjutan) (Wijesekera dan Nigel, 2009).
Pengobatan ALS
Direkomendasikan riluzole (suatu antagonis glutamat) 50 mg dua kali sehari, dengan pemantauan teratur. Pemberian 100 mg riluzole oral setiap hari setelah 18 bulan memperpanjang harapan hidup penderita ALS sekitar tiga bulan. Efek samping riluzole adalah fatigue dan asthenia. Hingga kini, belum ada terapi efektif untuk ALS (Lacomblez, dkk, 1996). Berbagai obat sedang memasuki trial fase II/III: arimoclomol, ceftriaxone, edaravone, IGF-1 polypeptide, minocycline,sodium phenylbutyrate, tamoxifen, thalidomide. Obat yang sedang dipertimbangkan dan direncanakan memasuki trial fase III: AEOL 10150, celastrol, coenzyme Q10, copaxone, IGF-1 – viral delivery, memantine, NAALADase inhibior, nimesulide, ritonavir, hydroxyurea, scriptaid, talampanel dan trehalose (Andersen dkk, 2005). Terapi Recombinant human insulin- like growth factor (rhIGF-I) – protein manusia yang dimodifikasi secara genetik – diharapkan dapat meningkatkan dan memperkuat kelangsungan hidup neuron motorik pada ALS. Diberikan setiap hari melalui injeksi subkutan. Terapi stem cell menjanjikan, namun efektivitasnya masih memerlukan riset lanjutan.
Status nutrisi penderita ALS juga perlu dievaluasi, mengingat sering terjadi disfagia, hipermetabolisme, serta beragam penyakit penyerta. Tatalaksana nutrisi termasuk diet, strategi menelan, kemungkinan dipasang selang makanan langsung ke lambung (gastrostomy tube placement), dan suplementasi berupa vitamin dan mineral (Braun dkk, 2012). Ketika status gizi terganggu oleh disfagia dan penurunan berat badan (5% -10% dari berat badan yang biasa) atau indeks massa tubuh <20 kg / m (2) tanpa kehilangan berat badan, percutaneous endoscopic gastrostomy menjadi indikasi (Greenwood,2013).
Terapi simtomatis untuk mengatasi spastisitas yang mengganggu aktivitas harian pasien adalah pemberian baclofen atau diazepam. Untuk mengatasi produksi saliva berlebihan (sialorrhea) dapat diberi trihexyphenidyl atau amitriptyline. Bila refrakter, dapat diberi injeksi botulinum toxin type B di kelenjar parotid dan submandibular. Terapi radiasi dengan dosis 7–7,5 Gy bilateral efektif mengurangi produksi saliva, namun ada efek samping, seperti: erithema dan mual (Jackson dkk, 2008).
Depresi diatasi dengan antidepresan, misalnya: amitriptyline atau golongan SSRI. Insomnia diatasi dengan amitriptyline atau golongan hipnotik, seperti: zolpidem, diphenhydramine. Cemas diatasi dengan bupropion atau diazepam 0,5 mg 2-3 kali sehari, atau lorazepam sublingual.
Afek pseudobulbar, menangis-tertawa berlebihan, atau gangguan ekspresi emosional involunter dialami 20–50% penderita ALS, terutama pada kasus pseudobulbar palsy. Kombinasi 30 mg dextromethorphan dan 30 mg quinidine dua kali sehari efektif mengatasi afek pseudobulbar. Gunakan oksigen hanya pada kasus hipoksia simtomatis. Untuk mengatasi terminal restlessness dan confusion karena hiperkapnia, digunakan neuroleptik (chlorpromazine 12,5 mg setiap 4 hingga 12 jam p.o., i.v.). Untuk dyspnoea dan/atau nyeri refrakter, digunakan opioid dosis tunggal atau dikombinasi dengan benzodiazepine jika disertai cemas (Sykes and Thorns, 2003).